Selasa, 29 November 2011

Warnai Dunia dengan Menulis

Oleh M. Anwar Djaelani1(Dalam diklat jurnalistik UKMKI)

“Menulis? Aduh, maaf, saya tak bisa! Sulit menemukan tema. Sukar merangkai kata-kata. Jikapun saya bisa menulis, media mana yang akan berkenan memuatnya?” Demikian, rata-rata jawaban dari orang yang kita minta untuk menulis artikel. Beralasankah sikap seperti itu?

Bisa, InsyaAllah!
Setiap orang -semestinya- bisa menulis artikel. Lho? Coba perhatikan keseharian kita! Di saat menjumpai sesuatu yang menarik perhatian di sekelilingnya, bukankah rata-rata orang akan menceritakan ulang kepada orang lain tentang hal itu? Bukankah fakta yang kita ceritakan itu biasanya tidak disampaikan secara persis? Masing-masing ‘pencerita’ punya angle. Tiap ‘penyampai’ memiliki perspektif. Maka, di titik ini, kerap ada improvisasi yang berbeda dari masing-masing ‘pembicara’.
Apa saja titik perbedaan kisah/cerita/berita mereka? Bisa dalam hal alur ceritanya. Kadang di bagian penekanan pokok ceritanya. Dapat pula di aspek penambahan komentar atau opininya.
Coba cermati! Jika rentetan berita dan opini mereka lalu dipindah ke bentuk tulisan, maka bukankah itu sudah bernilai sebagai sebuah artikel? Dengan demikian, pertama, sesungguhnya tema untuk dikembangkan menjadi sebuah tulisan yang menarik cukup mudah kita mendapatkannya. Tema itu bertebaran di sekitar kita. Tema itu bisa berasal dari berbagai arah dan level, mulai dari pribadi / keluarga, kota, provinsi, nasional, dan dunia.
Di level rumah tangga, misalnya. Ketika ibu-ibu mendapati kenyataan bahwa harga beberapa kebutuhan pokok merangkak naik mengiringi kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak), maka mereka bisa menulis opini tentang ini.
Opini mereka bisa dari berbagai sudut pandang, tergantung dari hal mana yang paling menarik perhatiannya. Misal, seorang ibu bisa memandang masalah ini dari sisi hikmah. Dari segi ini bisa ditulis bahwa inilah momentum untuk mengampanyekan “Gerakan Hidup Hemat”. Di dalamnya, mereka bisa berbagi kiat, bahwa dengan berhemat kita bahkan bisa lebih berbahagia. Oleh karena itu, patutlah kiranya semua pihak mengampanyekan sekaligus mengamalkan “Gerakan Hidup Hemat” ini. Berilah argumentasi yang memadai. Bisa dari aspek ekonomi, sosial, budaya, agama, atau lainnya. “Jadikan hidup hemat sebagai gaya hidup,” demikian –kurang lebih- inti pesan dari opini itu.
Lalu, di level perkotaan, seperti apa contohnya? Tulislah, misalnya, apa opini kita tentang sikap walikota di sebuah kota besar yang masih memertahankan lokalisasi prostitusi yang disebut-sebut terbesar di Asia Tenggara. Jika ulama-ulama di kota itu sudah menyatakan kegerahannya atas keberadaan sarang maksiat itu plus gubernur dan wakilnya di wilayah yang menaungi kota itu pun setuju atas rencana penutupan itu, maka jadikanlah hal tersebut sebagai tambahan penguat opini kita bahwa lokalisasi prostitusi itu wajib hukumnya untuk ditutup.
Sementara, di level nasional, apa pula contohnya? Misal, apa opini kita atas berlarut-larutnya kenyataan pahit bahwa pelaksanaan hukum masih bersifat ‘tebang pilih’? Bahwa hukum masih dipraktikkan seperti saat kita menggunakan pisau, yang hanya tajam mengiris bagian yang di bawah (yaitu rakyat kecil / kaum yang tak berpunya) dan tumpul saat berhadapan dengan bagian yang di atas (yaitu ‘rakyat besar’ / kaum berharta / penguasa). Lihat –sekadar untuk menyebut contoh-, bagaimana seorang tahanan yang kaya cukup leluasa keluar-masuk sel untuk berbagai keperluan termasuk sempat terbang bersenang-senang ke sebuah ‘pulau wisata’ –yang jauh dari tempat dia ditahan- untuk menonton sebuah pertandingan tenis internasional.
Bagi yang suka mengikuti informasi lewat pemberitaan media, baik media cetak (seperti koran, tabloid, majalah, dan yang sejenis) maupun media elektronik (seperti radio dan televisi), atau juga media online (lewat berbagai situs, baik milik lembaga atau pribadi), maka untuk mendapatkan ‘tema-tema nasional’ rasanya jauh lebih mudah ketimbang tema yang selainnya.
Kelak, jika sudah terbiasa, nyaris di setiap kita membaca koran atau menonton televisi (terutama pada program berita) akan cukup mudah bagi kita untuk menemukan tema yang bisa ditulis menjadi sebuah artikel yang menarik. Misal, di sekitar Agustus-September-Oktober 2011, di antara berita-berita ‘menarik’ yang beredar adalah soal maraknya aktivitas suap-menyuap. Itupun masih ditambah kenyataan, bahwa di antara tema-tema diskusi publik yang menarik saat itu adalah soal suap juga. Maka, ketika itu, buat saja tulisan bernada ajakan kepada publik agar berhati-hati saat melakukan berbagai urusan sedemikian rupa kita tak terjebak praktik suap-menyuap yang para pelakunya (penyuap, yang disuap, dan yang mengantarainya) dilaknat Allah. Misal, buatlah judul, “Wabah Suap di Sekitar Kita, Waspadalah!”
Pendek kata, masalah atau tema tulisan ada di mana-mana dan kita (hampir) pasti mempunyai opini tentang itu. Jika selama ini, opini kita hanya sebatas yang kita utarakan secara lisan ke orang-orang di lingkungan dekat kita yang jumlahnya terbatas, maka sadarilah –bahwa sesungguhnya- opini kita bisa di-‘dengar’ oleh begitu banyak orang jika disampaikan lewat sebuah tulisan dan kemudian kita publikasikan. Pihak yang men-‘dengar’ ulasan kita bisa tersebar di berbagai sudut negeri, dan bahkan di berbagai penjuru dunia.
Mari, ambil contoh lagi. Misal, Anda termasuk remaja atau tertarik pada tema-tema remaja. Maka, tema-tema berikut ini tergolong timeless alias abadi (artinya tak terikat waktu penulisan). Tema-tema itu –antara lain- seperti: Remaja, Idola, dan Uswah. Remaja dan Perkara Cinta. Bahaya Kawin Beda Agama. Pernikahan Indah di Bawah Syariat.
Tema-tema itu akan semakin menemukan momentum saat ada contoh-contoh kasus yang sedang hangat dibicarakan publik. Misal, saat Justien Biber manggung di Jakarta pada 23/4/2011, banyak remaja yang histeris dan tampak melakukan hal-hal yang tak perlu. Misal, sekalipun tiket berharga mahal (Rp 1.000.000, Rp 750.000, dan Rp 500.000) tapi beliebers (penggemar Justin Bieber) rela antri untuk waktu yang lama untuk mendapatkannya. Untuk bisa menonton konser dari remaja Kanada berusia 16 tahun itu, ribuan remaja bahkan sudah mulai mengantri tiket sejak dini hari.
Lihat petikan dari www.jpnn.com 23/1/2011 berikut ini. Penyanyi belia Justin Bieber benar-benar menjadi idola dan punya magnet luar biasa di tanah air. Meski konser pelantun Baby itu di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, baru akan berlangsung pada 23/4/2011, ribuan orang rela antri untuk mendapatkan tiketnya pada 22/1/2011.
Situs itu melukiskan, bahwa ribuan orang yang didominasi para ABG antri dan berdesak-desakan. Antrian tiket yang mengular sejak pukul 5 pagi mencapai 1 kilometer, padahal loket penjualan tiket baru dibuka pukul 9 pagi. Sempat terjadi kericuhan akibat aksi saling dorong antarpengantri. Beberapa remaja putri yang mendominasi antrian tersebut terlihat menangis karena kesakitan terhimpit. Bahkan, tidak sedikit yang jatuh pingsan.
Lalu, bagaimana suasana di hari pertunjukannya? Di www.kompas.com 23/4/2011, bisa kita baca: Antusiasme para anak baru gede (ABG), terutama perempuan, untuk menyaksikan konser World Tour 2011 Justin Bieber sungguh luar biasa. Meski konser baru akan dimulai pukul 19.30, sejak sebelum pukul 12.00 mereka sudah mulai berdatangan. Lalu, bagaimana dengan mereka yang belum memegang tiket? Ada, tapi harganya melangit, yakni antara Rp 4 juta hingga Rp 5 juta.
Sekitar 10 ribu penonton hadir. Para penggemar Justien Biber yang kebanyakan masih remaja ini datang menggunakan berbagai asesori yang bisa diasosiakan sebagai fans berat sang idola. Misal, mereka memakai baju berwarna ungu-ungu, sebab pelantun lagu Baby itu suka sekali dengan warna ungu. Mereka juga membawa berbagai atribut yang bertuliskan Justien Bieber I Love You. Singkat kata, Justien Bieber sukses membuat para penggemarnya berteriak histeris sepanjang konser.
Maka, mencermati fenomena remaja yang berperforma seperti itu, sangat relavan jika kita menulis artikel berjudul Remaja, Idola, dan Uswah. Kita tulis, siapa remaja itu. Apa potensi remaja. Apa yang dimaksud dengan idola. Apa pertimbangan remaja saat memilih idola. Berbahayakah jika idola –secara sadar atau tak sadar- bergeser menjadi uswah? Tentu saja dikupas pula apa pengertian dan contoh uswah.
Masih perlu contoh lagi? Ada berita di www.liputan6.com 21/4/2011. Bahwa Krisdayanti –penyanyi- kembali mengurai sensasi. Di sebuah media cetak, ia mengaku sudah hamil empat bulan. Artinya, saat menikah dengan Raul Lemos, kandungannya telah berumur tiga bulan. Lalu, pada 27/4/2011, www.fajar.co.id menulis judul: “Krisdayanti, Minta Maaf Hamil di Luar Nikah”.
Bagaimana tanggapan orang-orang yang ‘pernah dekat’ dengan Krisdayanti? Putri sulung Krisdayanti, Aurel, kaget tatkala diberi tahu ibundanya sedang hamil 4 bulan. Walau sempat kaget, Aurel senang menyambut kehadiran calon adik tirinya (www.okezone.com 21/4/2011). Lantas, apa kata Anang Hermansyah, mantan suaminya? Seperti tanpa beban, dia menukas: "Yah mau dibilang kaget aku jawab nggak ah. Biasa aja” (www.liputan6.com 21/4/2011).
Maka, terkait berita itu, kita bisa menulis artikel dengan judul Pernikahan Indah di Bawah Syariat. Di bagian pengantar kita uraikan tentang kasus-kasus hamil di luar nikah. Salah satu contoh kasus paling akhir adalah apa yang dialami Krisdayanti. Atas fenomena itu, kita patut cemas, sebab jumlah kasus semisal itu semakin banyak. Dan, kecemasan kita semakin meninggi karena tampak bahwa hamil di luar nikah dianggap sebagai sebuah peristiwa biasa oleh kebanyakan orang.
Setelah kita kupas pandangan Islam tentang hamil di luar nikah, berikutnya, berikanlah gambaran bahwa Islam cukup detil mengatur pola pergaulan. Islam mengatur tata pergaulan, termasuk antarmereka yang berbeda jenis kelamin dan apalagi bukan muhrimnya. Islam mengatur pula bagaimana membina rumah-tangga sakinah, yang dimulai sejak memilih calon pasangan. Kriteria apa yang seharusnya kita kedepankan. Lalu, bagaimana adab meminang. Dan, tentu saja, bagaimana resepsi pernikahan itu dihelat. Akan lebih lengkap jika ditambahkan pula tentang hak dan kewajiban si suami dan si istri dalam sebuah rumah tangga. InsyaAllah, jika syariat itu dilalui secara benar, sebuah pernikahan yang indah penuh barakah akan bisa kita nikmati.
Berdasarkan sejumlah ilustrasi di atas, sekarang, janganlah ragu-ragu untuk memulai menulis. Sebab, bahan untuk menulis sangat banyak. Percayalah, selama ada kehidupan, bahan atau tema tulisan itu bertebaran di sekitar kita. Bukankah -kita tahu- bahwa di sepanjang perjalanan hidupnya, manusia itu selalu bergerak dari satu masalah ke masalah yang lain?
Jadi, tulislah artikel, dan tuangkanlah opini kita di dalamnya. Niatilah aktivitas kita itu sebagai amal shalih. Lalu, kita kirimkan artikel itu ke media. Jika tak dimuat, munculkanlah di blog pribadi kita.

Niat dan Pembiasaan
Ayo segera ambil pena atau -lebih tepat- alat lain semisal laptop. Mulailah menulis! Jangan ragu-ragu! Sebab, Abdul Hadi WM –sastrawan- pernah bilang bahwa kemahiran menulis dipengaruhi bakat 5%, keberuntungan 5%, serta –yang 90%- tergantung kepada kesungguhan dan keuletan.
Kita bisa memegang pendapat di atas, bahwa dalam hal kepenulisan, bakat itu hanya menyumbang 5 % saja. Sisanya adalah ketekunan untuk terus berlatih sebagaimana dulu kita belajar naik sepeda. Masih ingatkah, dulu, di saat-saat awal belajar bersepeda? Tentu saja, semua orang akan mengawalinya dengan tahapan jatuh dan jatuh sampai di kemudian saat bisa menemukan ‘resep’ bagaimana menjaga keseimbangan tubuh dan mengatur kecepatan sedemikian rupa kita bisa bersepeda dengan nyaman dan aman. Itu semua memerlukan latihan-latihan yang cukup.
Paralel dengan kias berupa pengalaman belajar bersepeda di masa lalu, maka untuk menjadi penulis yang baik, ketrampilan menulis harus terus diasah. Proses ‘jatuh dan jatuh’ di saat awal adalah lumrah. Adapun yang dimaksud ‘jatuh dan jatuh’ itu, misalnya dikritik teman, ditolak oleh redaktur untuk dimuat di medianya, dan hal-hal lain yang serupa dengan itu.
Dalam hal ‘jatuh dan jatuh’ itu -bisa dibilang- semua penulis pernah mengalaminya. Tanpa bermaksud mengecilkan hati para calon penulis, banyak cerita nyata, bahwa seseorang yang sekarang kita kenal sebagai penulis (terkenal), ternyata di saat-saat awal, sejumlah artikel yang dikirimnya ke media tak langsung dimuat. Ada seorang penulis -yang sekarang cukup produktif- bercerita, bahwa saat dia dulu mengawali ‘karir’ sebagai penulis, karyanya baru dimuat media setelah mengirim lebih dari tiga puluh artikel. Sementara, seorang penulis lainnya, bahkan baru dimuat setelah mengirim lebih dari tujuh puluh artikel.
Harus kita pahami, semakin terkenal sebuah media, maka kompetisi untuk menembusnya akan semakin ketat pula. Konon, sebuah koran nasional yang oplahnya sekitar setengah jutaan, menerima sekitar seratus artikel setiap hari. Sementara, di tiap hari, koran tersebut rata-rata hanya bisa memuat dua buah artikel dan bahkan kadang cuma satu artikel saja.
Sekali lagi, fakta di atas perlu diungkap, semata-untuk lebih meneguhkan komitmen kita bahwa dalam belajar menulis itu tahapan ‘jatuh dan jatuh’ adalah sesuatu yang biasa dan bahkan memang harus dilewati agar kita lebih matang, cerdas, dan arif.
Dengan demikian, ‘teori-teori’ yang akan diungkap segera setelah ini hanya sekadar bagi-bagi pengalaman dari seorang sahabat. Kelak, insyaAllah, Andapun akan punya pengalaman, yang -boleh jadi- serupa atau berbeda. Dari mana pengalaman itu? Tentu saja, dari praktik menulis yang terus-menerus kita kerjakan dengan sepenuh hati, dengan segenap cinta. Benar, pengalaman itu akan bisa kita petik dari sebuah pembiasaan yang tiada henti.
Namun, pembiasan untuk terus menulis itu harus didasari pada sebuah niat yang benar. Tatalah niat kita lebih dahulu. Apa motivasi kita menulis? Demi idealismekah? Misalnya, apakah untuk menjadikannya sebagai media dakwah? Turut mencerdaskan bangsa? Untuk memengaruhi opini publik? Ataukah, sekadar untuk meraih popularitas? Atau juga, sebagai sarana mencari uang? Tentu saja, pilihan motivasi menulis itu akan berbanding lurus dengan ‘daya juang’ kita dalam (berlatih) menulis.
Hanya saja, apapun niat kita, menjadi penulis itu pasti ‘kaya’, karena dia berposisi sebagai pemberi (ilmu/pengetahuan/gagasan). Dia pasti kaya wawasan, sebab aktivitas menulis mewajibkan dirinya untuk terus membaca. Kecuali itu, penulis juga berpeluang besar untuk kaya secara materi, yaitu dari honorarium atau royalti karya-karyanya.
Agar kaya wawasan, maka jadikanlah aktivitas membaca sebagai keseharian kita. Dan, memang, tulisan bagus biasanya akan lahir dari seorang pembaca yang rakus.

Jurus Jitu
Berdasarkan pengalaman, berikut ini sejumlah catatan yang bisa kita aplikasikan untuk belajar menulis artikel sekaligus kiat sukses menembus media (cetak).

I. Faktor Teknis
1).  Buat “bank tema” tulisan. Ide tulisan -terutama jika kita sudah terbiasa menulis- akan datang mengalir deras. Nyaris, di setiap yang kita baca, lihat, dengar, atau apa yang dialami oleh orang lain / masyarakat, bisa menjelma menjadi ide yang menarik untuk ditulis, untuk diartikelkan.
Sungguh, ide bisa datang dari mana dan kapan saja. Ide bisa kita pungut dari koran, majalah, televisi, dan pengalaman (sendiri atau orang lain). Maka -setidaknya di tahap awal- usahakanlah untuk selalu membawa alat tulis. Segera tulis ide(-ide) yang kerap datang secara tiba-tiba.
Untuk artikel, ide harus orisinal, aktual, urgen, menawarkan wawasan baru, dan memberi solusi. Contoh: Saat naskah ini ditulis, untuk masalah perkotaan di Surabaya, bisa diangkat tema tentang semakin meningkatnya jumlah pelanggar lampu lalu-lintas di berbagai perempatan jalan. Banyak pengendara yang mencuri kesempatan, terutama di saat peralihan warna lampu. Misal, lampu baru saja berganti dari hijau ke merah, tapi seseorang terus saja melaju. Perilaku jelek yang bukan saja membahayakan diri sendiri tapi juga orang lain itu, berkecenderungan semakin meluas. Di banyak perempatan jalan, praktik memalukan dan sekaligus membahayakan itu semakin kerap terjadi. “Kepada para ‘Koruptor’ di Perempatan Jalan” bisa menjadi salah satu pilihan judul yang mungkin menarik.
Sekali lagi, baca media cetak, ‘baca’ televisi, ‘baca’ peristiwa di sekitar kita. Maka, pengetahuan kita akan bertambah, perbendaharaan kata akan semakin kaya, dan –yang paling penting- bisa mengail ide / tema untuk dikembangkan menjadi artikel yang berharga.
Contoh artikel yang kelahirannya diilhami oleh berita-berita atau artikel-artikel di koran:
Di sekitar Ramadhan, dan saat itu sejumlah media cetak gencar memberitakan tentang banyaknya kasus gizi buruk, lahir artikel: Bisakah Gizi Buruk Picu Sadar Zakat (Jawa Pos 30/4/2008).
Ketika terbaca di koran-koran bahwa banyak guru yang sibuk melengkapi berbagai portofolio dalam rangkaian sertifikasi guru, lahir artikel: Urgensi Meneliti dan Menulis bagi Guru (Jawa Pos 26/3/08).
Saat banyak media cetak memuat kisah sukses (termasuk sukses finansial) Habiburrahman sebagai penulis, lahir artikel: Habiburrahman sebagai Fenomena Penulis Kaya (Jawa Pos 3/3/08) 3).
Ada berita seorang murid di salah satu kota di Jawa Timur meninggal dunia, setelah beberapa hari sebelumnya menerima hukuman fisik dari gurunya. Dari berita itu, muncul artikel: Hukuman Guru dan Mimpi Buruk Murid (Radar Surabaya, 21/2/08).
Seseorang –Pradana Boy ZTF- menulis artikel berjudul Relativitas Kesesatan Aliran Sesat (Jawa Pos 9/11/2007). Intinya, Boy menyoal atau –lebih tepat- menggugat keabsahan ulama dalam menetapkan fatwa sesat atau tidak sesatnya suatu aliran keagamaan tertentu. Seperti terwakili oleh judul tulisannya, Boy menggugat kapasitas ulama dalam menetapkan fatwa dengan bersandar kepada paham Relativisme. Maka, M. Anwar Djaelani yang tak sependapat dengan jalan berpikir Boy, menulis artikel tanggapan: Ulama dan Relativisme Kaum Liberal (Jawa Pos 16/11/2007)  Rupanya, Boy meladeni polemik itu. Diapun menulis tanggapan atas tanggapan, berjudul Kegagalan (Dakwah) Islam Mainstream (Jawa Pos 19/11/2007). Akhirnya, redaktur Jawa Pos menyudahi polemik itu dengan menurunkan artikel jawaban akhir M. Anwar Djaelani, berjudul: Kontribusi Relativisme ke Aliran Sesat (Jawa Pos 23/11/2007). Jadi, skor pemuatan 2 : 2.

Contoh artikel yang kelahirannya dipantik oleh acara di televisi:
M. Anwar Djaelani –yang sudah sekian tahun ‘menceraikan’ televisi’, dalam sebuah kesempatan yang terbilang tak sengaja, menonton acara Empat Mata. Atas acara yang -menurut dia- ‘tak sehat’ itu, lahirlah artikel: Tukul, “Kesehatan” Publik, dan KPID Jatim (Jawa Pos 2/3/2007)‏.

Contoh artikel yang kelahirannya diinspirasii oleh kejadian(-kejadian) sehari-hari, baik yang dialami sendiri si penulis atau orang lain:
Di Surabaya –dan banyak kota lainnya- dalam beberapa tahun belakangan ini, anggota masyarakat tampak mudah menutup jalan untuk berbagai keperluan pribadi, seperti resepsi pernikahan, khitanan, atau yang semisal dengan itu. Sekalipun sudah banyak yang protes karena dirasa sangat merugikan semua pengguna jalan, namun tampaknya praktik salah ini semakin menjadi-jadi. Dari kasus ini lahir artikel: Penutupan Jalan Vs Kepentingan Umum (Jawa Pos 13/7/2006).
Saat itu, di banyak sekolah, Kantin Kejujuran didirikan. Intinya, kantin itu tanpa penjaga. Si pembeli mengambil sendiri barang yang diperlukannya, lalu membayar dengan langsung meletakkan uangnya di kotak uang. Jika uangnya berlebih, diapun mengambil uang kembalian sendiri. Tujuan kantin ini mulia, yaitu mendidik siswa untuk jujur. Atas fenomena ini lahir artikel: Kantin Kejujuran, Pendidikan Antikorupsi (Jawa Pos, 6/11/2008).
Di sejumlah kesempatan, penduduk Surabaya –terutama yang sedang berkendaraan- merasa sangat dirugikan oleh ulah demonstran. Sebab, para demonstran itu kerap dengan semena-mena menutup jalan. Akibatnya, terjadi kemacetan lalu-lintas yang parah. Maka, terpikir, jika demonstrasi adalah pilihan sikap dalam menyatakan pendapat yang tak bisa dihindarkan, silakan saja dilakukan. Tapi, pelaksanaannya harus beradab, misalnya, tak boleh sampai mengganggu orang lain. Maka, atas problema ini, lahir artikel: Ajang Demo, Surabaya Perlu Hyde Park. (Catatan: Hyde Park adalah sebuah lokasi strategis –di sebuah taman di pusat Kota London- untuk unjuk berbagai keperluan, termasuk berdemonstasi. Bisa dibilang, tak ada yang terganggu jika berdemonstrasi di sini sekalipun jumlah massanya sangat banyak).
 
2). Buat judul yang mencerminkan tema. Judul yang baik, antara lain: a). Mampu mencuri perhatian pembaca. b). Mencerminkan tema / arah tulisan, sehingga bisa menjadi ‘miniatur’ isi keseluruhan tulisan. c). Ringkas dan padat.
Sebagai sarana berlatih, seringlah memerhatikan judul-judul artikel di berbagai media cetak. Misal:
“Berhaji Sekali, tapi Berimplikasi Sosial”, Jawa Pos, 27 November 2007.
“Hijrah Pemimpinku dan Bangsaku! ”, Jawa Pos, 26 Maret 2001.
“Intelelektual, Artikel, dan Buku”, Jawa Pos, 20 Mei 2007.
“Berhaji, Menjadi Abdullah Sejati”, Radar Surabaya,13 Desember 2005.
”Pemimpin Amanah dan Sekolah Ramadhan”, Radar Surabaya, 15 Oktober 2005. “Berani Mubahalah untuk Fatwa MUI?”, Radar Surabaya,12 Agustus 2005.
“Din dan Wajah Muhammadiyah”, Radar Surabaya, 9 Juli 2005.
“Quo Vadis Muhammadiyah”, Radar Surabaya, 30 Juni 2005.
“Surga Pornografi Nomor Dua”, Jawa Pos,15 September 2004. 
”Ekses Kampanye Kawin Beda Agama”, Jawa Pos, 27 Oktober 2002.
“Apa Kabar ‘I’ di HMI?”, Jawa Pos, 1 Mei 2002.
“Hidup Bersih Tanpa Gratifikasi”, Radar Surabaya, 8 November 2006.
 
3). Buat outline / kerangka karangan sebelum menulis secara lengkap. Berdasarkan  ide / tema yang telah kita pilih, buatlah outline untuk memudahkan pengembangan penulisan. Pada dasarnya, alur menulis terangkai dalam:
Pertama, pendahuluan.
Pendahuluan berbentuk paparan ringkas dari masalah yang akan kita kupas. Untuk artikel, pendahuluan biasa pula disebut dengan lead. Posisi lead menempati alinea pertama. Fungsi lead: Penggugah rasa ingin tahu pembaca. Artinya, setelah terpikat oleh judul, pembaca dapat terus kita ikat minat bacanya sampai tuntas membaca keseluruhan tulisan. Pendek kata, lead mengantar pembaca ke gagasan utama sang penulis.
Ada tiga pilihan gaya lead. Langsung menyodok dengan serangkaian pertanyaan / pemaparan masalah. Atau, berupa kutipan ayat  suci / hadits, buku, pernyataan orang. Atau, ringkasan tulisan kita. Lihat contoh terlampir!
Kedua, berisi pembahasan (berupa analisis atas masalah yang kita angkat). Pembahasan harus sistimatis, argumentatif, tuntas, ditulis dengan bahasa baku namun tetap dengan sentuhan popular. Lihat contoh terlampir!
Dan, ketiga, berisi penutup. Bagian ini memuat kesimpulan atau solusi atas masalah yang dikupas. Disajikan sekaligus dengan gaya pamit. Lihat contoh terlampir!
 
Tentang panjang tulisan. Perhatikanlah kebijaksanaan khas tiap media cetak dalam menerima artikel. Misal, tentang panjang tulisan yang kita kirim. Usahakanlah sesuai dengan “ketentuan” dari masing-masing media cetak. Secara umum, media membutuhkan artikel sepanjang 6000 karakter atau sekitar 850 kata. Hanya saja, sejumlah media cetak ada yang meminta secara khusus. Misal, ada yang menginginkan 4500 karakter, 7000 karakter, atau lain-lainnya.
Dua pihak akan sama-sama diuntungkan jika kita mengirim artikel sesuai dengan kebutuhan si media. Pertama, si redaktur beruntung karena dia tak memerlukan waktu editing yang lama. Kedua, si penulis diuntungkan karena kemungkinan si redaktur ‘salah gunting’ (karena alasan editing) ternihilkan.

4). Tentang ‘kelengkapan’ naskah. Terutama di masa awal ‘karir’ kepenulisan, saat mengirim naskah jangan lupa untuk menyertakan semcam surat pengantar. Tonjolkan, pertama, otoritas kita dalam menulis artikel dengan tema yang kita kirimkan itu. Lalu, tulislah -jika punya- pengalaman menulis sebelumnya (misal, pernah aktif di pers kampus saat masih mahasiswa atau tunjukkan media cetak mana saja yang pernah memuat tulisan kita). Jika belum punya, tak perlu berkecil-hati. Kedua, lengkapilah dengan salinan kartu identitas kita. Sertakan pula foto, nomor kontak, dan nomor rekening bank (untuk pengiriman honorarium jika naskah kita dimuat). Kelak, jika kita sudah dikenal oleh redakturnya, pengiriman naskah lewat email -biasanya- tak memerlukan lagi ‘lampiran-lampiran’ tadi karena sang redaktur sudah mempunyai arsipnya.

B. Faktor Non-Teknis
1). Secara umum, kenali karakter media yang akan kita kirimi artikel. Tiap-tiap media pasti memiliki ‘ciri khas’ seperti dalam hal segmen pembaca, pilihan tema artikel, dan gaya bahasa. Caranya? Pelajarilah berita-berita dan artikel-artikel yang dimuat di berbagai media. Sekadar contoh, bandingkanlah berita dan artikel di Jawa Pos, Kompas, dan Republika.
2). Secara khusus, kenali ‘selera’ redaktur opininya. Dia suka tema-tema apa dan dengan ‘model’ penyajian seperti apa? Kadang, sekalipun di media yang sama, jika terjadi pergantian redaktur maka –sedikit atau banyak- akan mengubah pula ‘peta’ kecenderungan artikel yang dimuat.
3). Pilih posisi, akankah menjadi penulis spesialis atau generalis. Untuk tahap awal, disarankan agar menulis artikel yang sesuai dengan otoritas keilmuan yang kita miliki. Kelak, jika kita mulai dikenal sebagai penulis yang potensial, maka bisa saja kita mulai untuk menulis tema-tema lain yang ‘berbeda’.

Ayo, Mulai!
Sekarang, tak perlu kita tunda-tunda lagi. Untuk (bisa) menulis, tak ada kiat yang paling manjur selain dengan apa yang dikenal sebagai “Tiga M”: mulai, mulai, dan mulailah!
Menulis dan teruslah menulis! Warnai dunia dengan karya-karya tulis kita! Warnai dunia dengan opini bernas kita. Warnai dunia dengan mengajak sesama untuk berperadaban mulia. Jika, karena sesuatu dan lain hal media cetak belum memuat karya kita, kini media online memberi peluang sangat lebar sedemikian rupa tulisan-tulisan kita bisa dibaca oleh begitu banyak orang. Terakhir, ada media yang pasti bisa memuat tulisan kita. Itulah blog pribadi, yang bisa kita buat secara mudah. Maukah?
Mari, berlomba-lombalah dalam kebaikan! Selamat berjuang! Salam. []

Daftar Bacaan
Dunia Kata (Mewujudkan Impian Menjadi Penulis Brilian), M. Fauzil Adhim, DAR! Mizan,
Bandung, 2004
Jurnalistik Dakwah, Sutirman Eka Ardhana, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 1995
Jurnalisme Islam, Herry Muhammad, Pustaka Progressif, Surabaya, 1992
Kiat Menjadi Penulis Sukses, Abu Al-Ghifari, Mujahid Press, Bandung, 2002
Lincah Menulis Pandai Bicara, Asep Syamsul M. Romli, Nuansa Cendekia, Bandung, 2005
Menjadi Powerful Da’I dengan Menulis Buku, Bambang Trim, KOLBU, Bandung, 2006
Menulis Bisa Bikin Kaya, Helvy Tiana Rosa, Ziyad Visi Media, Jajar Laweyan, 2007
Panduan Membuat Karya Tulis, O. Setiawan Djuharie dan Suherli, CV Yrama Widya, Bandung,
2005
Teknik Penulisan Ilmiah Populer, Slamet Soeseno, Gramedia, Jakarta, 1997




Media Silaturrahim
www. anwardjaelani.com
anwar.djaelani@gmail.com
081330663340, 085730541350, 03134171980





Berikut ini (sebagian) daftar alamat email media cetak yang bisa kita kirimi artikel. Untuk Jawa Pos ke opini@jawapos.co.id. Untuk Radar Surabaya ke radarsurabaya@yahoo.com. Untuk Republika, silakan ke sekretariat@republika.co.id. Sementara, untuk Kompas bisa ke opini@kompas.com.

Sabtu, 26 November 2011

Bersyukur sebagai Kunci Kekayaan

Banyak di antara kita menganggap orang kaya adalah mereka yang mempunyai banyak uang, rumah mewah, pakaian dan kendaraan yang mahal, serta setiap hari makan enak. Tidak ada salahnya jika berpendapat seperti itu. Tetapi yang disayangkan adalah mereka yang memiliki harta berlebih, tidak punya niatan untuk berbagi dengan orang lain yang sekiranya perlu dibantu. Bagi mereka yang diberi harta berlebih dari Allah SWT tetapi hatinya tertutup untuk berbagi, bagi mereka yang diberi kesehatan tetapi hatinya tertutup untuk menolong, mereka yang punya ilmu tetapi tidak bersedia mengajarkannya kepada orang lain, masih pantaskah disebut orang kaya?
Dalam sebuah hadis Rasullulah bersabda: “Wahai Abu Dzar apakah kamu menyangka karena banyak harta orang menjadi kaya? saya berkata: ya benar, wahai Rasullulah. Beliau bersabda pula: dan kamu menyangka karena harta sedikit orang menjadi miskin? Saya pun berkata: Ya benar, wahai Rasullulah. Beliau bersabda: Sesungguhnya kekayaan adalah kecukupan dalam hati dan kemiskinan adalah miskin hati .” (HR. Hakim dan Ibnu Hibban).
Pandangan tentang arti kekayaan terlalu sempit jika diartikan seperti di awal artikel ini. walaupun penduduk Indonesia mayoritas muslim tetapi tuntunan hadis Rosullulah ini dilupakan. Apa yang ada di hati setiap manusia adalah jawabanya. Jika hati ini selalu bersyukur atas apa yang didapatkan dari Allah maka ini akan menjadi kunci kekayaan setiap orang. Harapannya dengan bersyukur orang yang kaya akan memberikan sebagian hartanya bagi orang miskin, orang sehat akan memberikan tenaganya untuk membantu yang lemah, dan orang yang pandai akan berbagi ilmu kepada sesama yang semuanya demi kemaslahatan.
Jadi orang kaya adalah orang yang paling banyak memberikan apa yang ia punya dengan ikhlas.

Jumat, 18 November 2011

Orang yang Dimaafkan Allah karena Memaafkan Hamba – hamba Allah

Dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari, Hudzaefah berkata, ‘ Aku telah mendengar Rasullulah bersabda, ‘Ada seorang laki – laki dari umat sebelum kalian yang didatangi oleh Malaikat maut untuk mencabut nyawanya. Dia ditanya, ‘Adakah kebaikan yang kamu lakukan?’ Dia menjawab, ‘Aku tidak tahu.’ Dikatakan kepadanya, ‘Lihatlah’ . Dia menjawab, ‘Aku tidak mengetahui apapun. Hanya saja, di dunia aku berjual beli dengan orang - orang dan membalas mereka. Lalu aku memberi kesempatan kepada orang yang mampu dan memaafkan orang yang kesulitan.’ Maka Allah memasukkan Surga.”

Isi dari hadis di atas adalah orang yang tidak punya amal salih manakala ditanya Malaikat maut. Dalam dagang khususnya hutang, orang ini memberi kelonggaran waktu pembayaran bagi mereka yang mampu hingga ia bisa membayarnya dan memaafkan orang yang dalam kesulitan. Hal ini dilakukannya supaya dengan harapan mendapat ampunan dari Allah. Dan Allah pun mengampuninya karena sifat pemaafnya dalam bermuamalah.
Sungguh menarik kisah ini dengan amal salih yang tidak ia punya tetapi bisa masuk surga hanya dengan amalan yang tidak disadari olehnya. Islam mengajarkan kegiatan muamalah seperti ini yang saling menguntungkan kedua belah pihak baik di dunia atau pun kelak di akhirat. Setidaknya di dunia mengajarkan kita untuk menjaga keberlangsungan silaturahmi dengan sesama, bukan kebalikannya yakni dengan memakai debit kolektor untuk menagih hitang bahkan secara paksa. Dan di akhirat demi Allah janji kebaikan itu pasti akan terbukti, Allah berfirman:
“Dan (jika orang berhutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. Dan takutlah pada hari (ketika) kamu dikembalikan pada Allah. Kemudian setiap orang diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang telah dilakukannya, dan mereka tidak dizalimi (dirugikan)”.(Al Baqarah 280-281)
Kebaikan bagi orang untuk memberi tempo pembayaran sudah dicontohkan dalam kisah tadi yakni ampunan Allah akan datang dan memberikan tempat surga baginya.

Allahualam bish showab