Kamis, 30 Juni 2011

Halal dan Haram

Allah SWT memberikan aturan yang jelas mengenai tidakan yang diperbolehkan dan yang dilarang dalam Al Quran. Hal ini mengikat bagi manusia yang memiliki akal dan nafsu agar tindakannya tidak merusak tatanan yang teratur dalam hubungannya dengan alam maupun tata kehidupan masyarakat. Sehingga tujuan dari diberikannya aturan Halal dan haram semata untuk kemaslahatan makhluk ciptaanNya di dunia.
Perintah dan larangan dalam syariat Islam bersandar pada Quran diantaranya pada surat Al A’raaf:157 “(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dam menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban – beban dan belenggu – belenggu yang ada pada mereka. Maka orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang – orang yang beruntung.”
Lebih dari hukum positif di dalam negara, firman Allah SWT harus ditegakkan bagi seluruh umat muslim. Sanksi dari pelanggaran syariat Allah memang pada suatu keadaan tidak nampak di dunia tetapi janji Allah pasti akan terjadi, balasan akan ditimpakan pada seseorang itu di akhirat kelak. Kurangnya sosilaisasi di segala lapisan masyarakat muslim menjadi sangat penting mengingat pemahaman agama secara luas masih terkotak dilingkup ulama ataupun praktisi keagamaan. Minimnya semangat umat Islam sendiri dalam mempelajari agama menjadi faktor terhambatnya informasi dan penyimpangan yang terkait masalah halal haram. Untuk itu perintah memahami Al Quran dalam arti seluas-luasnya agar menjadi kekasih Allah SWT sebagaimana QS Al Alaq 1-5, selayaknya dijadikan motivasi umat Islam.
Pergeseran syariat Islam di Indonesia menjadikan masyarakat beranggapan praktik fiqh hanya seputar muamalah, ibadah ritual dan munakahah saja. Padahal dalam berbagai kitab fiqh menjelaskan landasan hukum fiqh yang harus dipraktikan mengikuti peradaban umat Islam yang modern.

Jumat, 24 Juni 2011

Pandangan Riba Lintas Agama

Riba sudah ada sejak dahulu, sebelum kedatangan Islam di Mekah. Bangsa Yahudi yang memiliki agama sudah mengetahui hal itu. Kaum nasrani juga mengetahui tentang riba, bahkan kitab sucinya melarang riba yang merugikan pihak lain.
a. Pandangan Yahudi tentang riba ada dalam kitab suci agama Yahudi. Kitab Exodus pasal 22 ayat 25 menyatakan; “ Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang umatku, orang yang miskin diantaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia, janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya.” Kitab Deuteronomy pasal 23 ayat 19 menyatakan “ Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan atau apapun yang dapat membungakan.”
b. Pandangan Nasrani terhadap riba ada dalam Lukas 6: 34 – 5 sebagi ayat yang mengecam larangan bunga “ Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu dari padanya, apakah jasamu? Orang – orang berdosapun meminjamkan kepada orang yang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi, kasihilah musuhmu dan berbuat baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharap balasan maka upahmu akan lebih besar dan kamu akan menjadi anak – anak Tuhan Yang Maha Tinggi. Sebab Ia baik terhadap orang – orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang – orang jahat.” Para pendeta Kristen seperti St. Basil menganggap orang yang memakan riba adalah orang yang tidak berperikemanusiaan. St Gregory mengutuk praktik bunga karena menurutnya pertolongan dengan bunga adalah palsu.
c. Pengaruh Nafsu dari Sarjana Nasrani Membolehkan Riba
Reformis Kristen mengubah dan membentuk pandangan baru tentang bunga. Mereka adalah Jhon Calvin, Charles du Moulin, Claude Saumaise, Martin Luther, Melanchthon dan Zwingli. Pendapat Calvin tentang bunga antara lain: dosa apabila bunga memberatkan, uang dapat membiak, tidak menjadikan pengambil bunga sebagai profesi, dan jangan mengambil bunga dari orang miskin.


d. Riba pandangan Islam
“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal didalamnya.” QS. Al Baqarah: 275
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan bergelimang dosa.” QS. Al Baqarah: 276.

Sumber: World Economic Revolution With Muhammad

Rabu, 15 Juni 2011

Hikmah Khusyuk dalam Shalat

“ Telah beruntunglah orang – orang mukmin, yaitu orang yang khusyuk dalam shalatnya”(QS. Al Mukminun :1-2). Ayat ini merupakan janji Allah pada umat muslim, dan lebih lanjut pahala yang akan diberikan Allah dijelaskan dalam ayat kesebelas yakni, akan mewarisi surga Firdaus dan kekal di dalamnya.
Subhanallah.. kenikmatan mengerjakan sholat dengan khusyuk bisa dirasakan di dunia dan akhirat. Sudahkah khusyukkah sholat kita? Hal ini menjadi pertanyaan ketika hikmah maupun efek dari khusyuk tersebut belum kita rasakan.
Secara sederhana khusyuk dapat diartikan dengan fokus, dimana dalam shalat kita tidak memikirkan yang lain selain berharap atau raja’ dan tawakal pada Allah SWT. Ketika jam belajar kuliah berlangsung fokus untuk memperhatikan dosen dan mengikuti arahannya tidak untuk melakukan hal lain diluar pelajaran dan intruksi dosen. Yang insyAllah jika ini dilakukan akan mendapat ilmu yang bermanfaat dan kelak akan menjadi ahli dibidangnya dan bisa menyenangkan dosen yang mengajar.
Hikmah dari fokus dialami oleh Ibu Nurfina Aznam. Beliau guru besar di Universitas Negeri Yogyakarta. Sejak 1980an beliau tekun mendalami kunyit. Gelar Doktornya pun ia peroleh gara – gara kunyit. Sehingga beliau sempat dijuluki doctor kunyit karena seringnya menliti kunyit. Hasil risetnya di Belanda berhasil mengantarkannya mendapat gelar professor bidang tanaman obat. Temuan beliau diproduksi sendiri sebagai obat instan yang didistribusikan kebeberapa kota di Indonesia. Tidak jarang penderita penyakit kanker terbantu oleh ramuan obat dari kunyit ini.
Pelajaran dari khusyuk bisa kita ambil dari shahabat nabi SAW bernama Abbad bin Bisyr. Dalam peperangan Abbad bin Bisyr mendapat giliran tugas jaga malam. Ditengah malam Abbad mengisi waktu jaganya dengan beribadah sholat. Saat itu musuh sedang mengintai dalam kegelapan dan meluncurkan panah pada tubuh Abbad. Dalam riwayat Abbad mencabut panah tersebut tanpa rasa sakit, kemudian melanjutkan shalatnya. Hal ini berulang sampai tiga kali. Ketika giliran temannya yang bernama Amar bin Yasir tiba, Abbadpun membangunkannya. Sementara yang memanah melarikan diri dan Amar terheran dan tanya “kenapa tidak membangunkannya?”.
“Aku sedang membaca Al Quran dalam shalat. Aku tidak ingin memutuskan bacaanku. Demi Allah, kalau tidak karena takut menyia-nyiakan tugas Rasul, biarlah tubuh ini putus daripada aku harus memutuskan bacaan dalam shalatku.” Jawab Abbad.
Menjadi landasan bagi kita ditengah negeri yang tidak ada perang ini untuk lebih khusyuk dalam sholat dan lebih fokus dalam menerima pelajaran yang diberikan dosen dengan suasana kampus Unair yang kondusif.

Kamis, 02 Juni 2011

Mengkritisi Sanad Hadist

Mengamalkan hadis itu penting, tetapi mengetahui sanad hadis sebelum mengamalkannya itu lebih penting. Para shahabat selalu bersikap kritis terhadap hadist bukan karena curiga akan rawi yang berdusta, tetapi untuk memastikan suatu hadis itu benar adanya.

Ada suatu kisah terhadap kritik sanad yang dilakukan oleh shahabat Rasul. Suatu malam Umar bin Khatab berbincang – bincang untuk menanyakan kabar Ratu Ghassan yang akan menyerbu kaum muslimin, tiba – tiba pintu rumah Umar diketuk keras oleh orang yang tidak dikenal.
“Apakah Umar sudah tidur?” triakan lantang dari luar pintu. Dengan penasaran Umar membuka pintunya, dan ternyata tetangganya seorang anshar dari keluarga Umayah ibnu Zaid. Ia baru datang dari pengajian Rasullulah.
“Ada apa? Apa pasukan Ghassan sudah datang?” tanya Umar. “Tidak” jawab lelaki itu. “Ada yang lebih gawat, Rasullulah telah menceraikan istri – istrinya,” tambah silelaki.
Umar tercengang mendengarnya bukan lantaran salah satu istri Rasul adalah putrinya, Hafsah, tapi benarkah Rasul melakukannya? (Umar penasaran). Esok hari Umar datang untuk konfirmasi kepada Rasul. Keesokan hari sambil menegakkan kepala dan memandang Umar, nabi saw berkata “ Tidak”. Umar lantas mengetahui bahwa Rasul hanya bersumpah untuk tidak menggauli istri – istrinya selama sebulan.

Dari kisah ini dapat kita ambil teladan Umar untuk melakukan pengecekan terhadap kebenaran suatu berita dari Rasul. Dalam hal ini Umar tidak mengecek atau melihat identitas perawi yang membawa berita, sebagai tetangganya yang tahu akan karakter dan prilaku kebiasaanya. Tapi yang Umar lakukan kritik terhadap materi hadis, bukan perawi hadis. Setelah Rasulullah saw yang tahu otentitas hadis telah meninggal seharusnya kritik hadis sekarang lebih ketat.